Beberapa hari terakhir, warga Persyarikatan Muhammadiyah dihebohkan dengan gonjang-ganjing jatah menteri di Kabinet Zaken Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka. Kehebohan ini sejak lama memang telah beredar luas di kalangan warga Persyarikatan Muhammadiyah, tapi meletusnya akhir-akhir ini ketika mereka menyimak penjelasan Pak Abdul Mu’ti selaku Sekretaris Umum PP Muhammadiyah di sebuah programĀ talkshow.
Pada tayangan yang diampu oleh Ipang Wahid dan Arifin Asydhad tersebut, Pak Mu’ti menjelaskan tentang pertemuan Pak Haedar Nashir selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah dengan Prabowo. Dalam pertemuan tersebut intinya Prabowo meminta masukan kepada Pak Haedar tentang kondisi Indonesia saat ini dan masa depan, plus masukan kepada Prabowo untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Di tengah podcast, Pak Mu’ti ditanya tentang potensi kuat beliau dipilih Prabowo sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Meskipun tidak menjawab kemungkinan tersebut secara lugas, tetapi Pak Mu’ti menjelaskan kemampuan di bidang pendidikan, yang disandarkan kepada jenjang pendidikan beliau dari mulai strata satu sampai doktor di bidang pendidikan; ditambah berpengalaman menjadi Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah.
Padahal, mengurus sistem pendidikan nasional negeri super jumbo dan super multikultural ini amat kompleks. Kompleksitasnya bukan diulas di sini, melainkan telah diperbincangkan dan diperdebatkan dalam banyak forum dan jurnal. Intinya, kebijakan pendidikan menjadi organisme dengan sektor pelayanan dasar lainnya, termasuk ekonomi, fiskal dan moneter.
Dalam forum yang berbeda ketika menghadiri pengajian maulid Nabi SAW di Muntilan Magelang pada 16 September lalu, Pak Mu’ti kembali memperkuat pernyataannya dan menjelaskan secara harfiah begini, “Saya dapat kabar A1 95 persen kemungkinan menteri pendidikan dasar dan menengah dipimpin oleh kader persyarikatan Muhammadiyah,” kata Pak Mu’ti.
Berbagai pernyataan viral Pak Mu’ti di atas bisa saja dinilai sebagai manuver politik untuk menyampaikan kode politik terhadap Presiden Prabowo beserta tim transisi pemerintahan tentang kesiapan dirinya menjadi Menteri Pendidikan.
Kalaupun ke depan Pak Mu’ti benar terpilih sebagai salah satu menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran, hal ini justru bisa menambah citra buruk kader Muhammadiyah di struktural pengurus pusat sepenting sekretaris, bendahara dan ketua bidang, yang nampak hanya memanfaatkan persyarikatan sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan politik di pemerintahan.
Padahal warga Muhammadiyah menilai sosok Pak Mu’ti lebih besar daripada sekedar seorang menteri. Jujur saja, warga Muhammadiyah merindukan sosok Kiai di Muhammadiyah; dan Pak Mu’ti adalah tokoh yang sebenarnya diharapkan warga Persyarikatan untuk menjadi Kiai di Muhammadiyah selanjutnya.
Persepsi demikian terbentuk, karena sampai hari ini Muhammadiyah krisis kiai dan ulama. Pascawafatnya Kiai AR Fachruddin (1995) dan Kiai Ahmad Azhar Basyir (1994), Muhammadiyah belum memiliki lagi tokoh ketua umum yang bisa disebut sebagai kiai atau ulama.
Ketua Umum PP Muhammadiyah pasca Kiai Ahmad secara umum adalah seorang politisi dan cendekiawan atau intelektual Muslim saja; belom sampai pada maqom kiai.
Pak Mu’ti adalah harapan besar warga Persyarikatan untuk menjadi sosok Ketua Umum PP Muhammadiyah berikutnya yang mampu berperan sebenar-benar kiai yang amat dihormati karena keilmuan yang luas nan mendalam, kesederhanaan, kebijaksanaan, dan (tak lupa) kejenakaanya.
Pak Mu’ti memiliki potensi besar dalam muktamar Muhammadiyah ke depan untuk terpilih menjadi ketua umum dan melanjutkan estafet kepemimpinan PP Muhammadiyah. Bahkan, bisa disebut muktamar mendatang hanyalah formalisasi untuk memilih Pak Mu’ti sebagai ketua umum.
Kita simulasikan, misalnya pesaing terkuat Pak Mu’ti saat ini adalah Pak Hilman Latief, Dirjen Haji dan Umroh di Kementerian Agama. Tentu saja Pak Mu’ti yang akan dipilih oleh mayoritas warga dan pengurus Persyarikatan, karena umumnya arus bawah di Muhammadiyah tidak menghendaki ketua umum dengan latar belakang pejabat publik.
Hal demikian tampak sudah jadi pakem Persyarikatan, karena sangat dikhawatirkan telah tersandera oleh kepentingan atau kelompok politik praktis. Biarlah sandera-menyandara itu jadi urusan tokoh pejabat publik Muhammadiyah lainnya yang telah berkarier panjang di dunia birokrasi pendidikan nasional dan sosial budaya, yang telah hafal luar kepala jurus-jurus distribusi sumber daya publik luas; bukan hanya publik Muhammadiyah (dan NU).
Pengalaman peradaban konstan menunjukkan, bahwa di antara patalogi politik biokrasi konstan bertemu dengan politik praktik. Patalogi lainnya (ini yang tak terbantahkan), pasti akan bergesekan dengan ekonomi politik, suatu area klientalisme yang senantiasa merawat praktik KKN, favoritisme, oligopoli, kartel dan segenap anak haramnya.
Kami tidak sedikit pun meragukan kepiawan dan integritas Pak Mu’ti, tapi kami pun sadar adagium peyoratif klasik berikut ini, “Tidak ada satupun punggawa yang tidak meneguk madu kekuasaan negara sebagaimana situasi ambigu tidak ada satu pun ikan dan biota laut yang tidak meneguk air, meskipun diperdebatkan apakah ikan minum atau tidak.” Itulah habitat kekuasaan.
Warga Muhamamdiyah lebih menghendaki sosok tokoh ketua umum dengan latar belakang orang Merdeka seperti Pak Mu’ti; seorang guru besar dan pendidik. Bersih dari berbagai kepentingan politik sekalipun kepentingan itu atas nama seluruh rakyat Indonesia.
Pak Mu’ti ke depan adalah sosok Kiai Muhammadiyah yang bisa menghibur dan menyiram masyarakat di tengah kegersangan, sebagaimana peran filosof klasik melahirkan filosof baru di setiap siklus peradaban. Tokoh pelahir filosof ini sudah pasti Maha Guru. Bisa kita sebut salah satu “pasak bumi” peradaban bangsa. Bukan pembantu raja, presiden, perdana menteri. Ia penasihat; pengayom semua faksi organisasi besar.
Ibarat pendaki, Pak Mu’ti sedikit lagi sampai ke puncak Himalaya. Tapi karena kehausan air, malah turun hanya mencapai puncak Semeru. Nakhoda kami sedikit lagi sanggup mengelilingi samudera. Tapi karena kecapean, berhenti di selat atau semenanjung.
Tolong: jangan kecilkan kebesaran kopiah Kiai Mu’ti hanya dengan jabatan politik sebagai menteri; pembantu presiden. Biarkan jabatan “sekelas” menteri diemban oleh kader Muhammadiyah lain yang tidak selevel dengan ketokohan Kiai Mu’ti.