Indonesia adalah produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Dan, berulang kali pemerintah menyebut minyak sawit adalah salah satu andalan penopang pertumbuhan ekonomi RI. Baik dari sisi ekspor dan sumbangan devisa, juga penggerak ekonomi daerah.
Nilai bisnis minyak sawit diprediksi mencapai ratusan triliun, bahkan lebih Rp1.000 triliun.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, sepanjang semester I tahun 2024, produksi minyak sawit RI dilaporkan tembus 30,14 juta ton. Nilai ekspor Januari-Juli 2024 tercatat mencapai US$14,81 miliar atau sekitar Rp231,036 trilun dengan kurs Rp15.600/ US$.
Hilirisasi minyak sawit pun jadi salah satu prioritas pemerintah untuk menopang perekonomian RI. Hilirisasi sawit dimulai sekitar tahun 2011, ditandai dengan diberlakukannya bea keluar (BK) atas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan turunannya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat perkembangan jumlah/jenis produk turunan yang dapat dihasilkan oleh industri dalam negeri meningkat dari 48 jenis di tahun 2011, menjadi sekitar 200 jenis di tahun 2024.
“Salah satu komoditas yang berhasil dioptimalkan potensi ekonominya melalui hilirisasi adalah kelapa sawit,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmitadalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (11/10/2024).
Dia menambahkan, hilirisasi industri agro, merupakan salah satu dari 10 industri prioritas yang pengembangannya masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi RI ke level 6-8%.
Pengembangan tersebut antara lain dilakukan melalui strategi hilirisasi yang ditujukan untuk memperdalam struktur industri dari hulu ke hilir. Serta didasarkan pada ketersediaan sumber daya alam yang melimpah.
“Hal ini tentunya meningkatkan kompleksitas produk nasional secara signifikan. Di samping itu, Indonesia juga tercatat sebagai negara pertama yang mengimplementasikan B30 di dunia, dan akan terus kita tingkatkan menjadi B40, bahkan kita harapkan dapat mencapai B100 di masa yang akan datang,” ujar Agus.
“Hilirasi yang dijalankan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo berhasil melepas ketergantungan ekonomi Indonesia dari gejolak harga komoditas dunia,” tambahnya.
Buktinya, imbuh dia, nilai ekspor kelapa sawit dan turunannya pada 2023 mencapai US$28,45 miliar. Angka ini mencakup 11,6% dari total ekspor nonmigas, dengan ratio ekspor bahan baku (CPO/CPKO) dengan produk olahan (processed palm oil) 10,25% berbanding 89,75%.
“Industri ini juga menyerap 16,2 juta tenaga kerja langsung serta tidak langsung. Ini menunjukkan betapa pentingnya hilirisasi kelapa sawit yang bisa menjawab tantangan untuk keluar dari middle income trap,” kata Agus.
“Berdasarkan data nilai PDB nasional Triwulan II tahun 2024 yang tercatat mencapai Rp.5,536 triliun, diperkirakan kontribusi industri pengolahan kelapa sawit dan turunannya mencapai 3,5%. Artinya, nilai ekonomi sektor sawit pada Triwulan II-2024 mencapai Rp193 triliun. Pada akhir tahun 2024 nanti, magnitude ekonomi basis kelapa sawit diperkirakan mencapai Rp775 triliun per tahun,” papar Agus.
Namun ternyata, bisa lebih besar dari itu.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung memperkirakan, nilai bisnis minyak sawit RI bahkan bisa berkisar Rp1.000 triliun.
“Hanya CPO dan PKO (palm kernel oil/ minyak inti sawit) saja saat ini nilainya sudah sekitar Rp750 triliun. Jika dalam bentuk produk hilir dan produk samping dihitung nilainya bisa menjadi sekitar Rp1.000 triiuun. Produk hilir saat ini mungkin sudah lebih dari 200 jenis,” kata Tungkot kepada CNBC Indonesia.
Mengutip Peraturan Menteri Perindustrian No 32/2024, ada 36 grup produk terbaru hasil hilirisasi sawit di RI.
“Masing masing terdiri dari banyak produk dengan variasi penggunaan produk minyak sawit. Banyak variasinya yang masing masing punya HS tersendiri,” ujar Tungkot.
Karena itu, Tungkot berharap, hilirisasi sawit di RI yang sudah berjalan sejak tahun 2011 terus berlanjut. Karena, hilirisasi yang terjadi, menurutnya, masih terlalu dangkal.
“Kita butuh pendalaman dan perluasan hilirisasi sawit kita kedepan. Saya lihat pemerintahan pak Prabowo, yang akan memimpin dalam waktu dekat memiliki komitmen yang tinggi untuk memperdalam hilirisasi sawit kita didalam negeri,” sebut Tungkot.
“Namun hilirisasi perlu disertai dengan peningkatan produktivitas kebun sehingga kita tidak kekurangan bahan baku industri hilir,” pungkasnya.