Jepang Dihantam 2 Malapetaka Ngeri Sekaligus, Negara dalam Bahaya

Warga negara Jepang. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Warga negara Jepang. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Kurangnya tenaga kerja dan krisis demografi, membuat Jepang kini menghadapi dua “kiamat” sekaligus. Hal ini tecermin dari data pemerintah Jepang yang dirilis menjelang “Hari Penghormatan bagi Lansia” pada Agustus lalu.

Data tersebut menyatakan bahwa populasi negara yang berusia 65 tahun ke atas telah meningkat ke angka tertinggi sepanjang masa, yaitu 36,25 juta.

Mengutip CNBC International, pada umumnya populasi negara itu secara keseluruhan memang mengalami perlambatan signifikan. Tapi segmen mereka yang berusia 65 tahun ke atas telah tumbuh menjadi 29,3% dari populasi.

“Ini bagian tertinggi dari negara manapun,” menurut Biro Statistik Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, dikutip Kamis (19/8/2024).

Kepala ekonom di Morgan Stanley MUFG Securities, Robert Feldman mengatakan, hal tersebut bisa memicu kekhawatiran lebih lanjut soal pergeseran demografi dan kurangnya tenaga kerja. Sebuah survei dari Teikoku Databank bulan lalu juga menunjukkan bahwa 51% perusahaan di seluruh sektor di Jepang merasa ada kekurangan karyawan penuh waktu.

“Kelangkaan tenaga kerja sama buruknya seperti sebelumnya,” kata Feldman, seraya mencatat, hal itu terutama terasa di industri padat karya seperti layanan makanan.

“Saat para pekerja lanjut usia ini mulai pensiun dari dunia kerja, tidak akan ada jumlah pekerja muda yang sama yang menggantikan mereka,” ujarnya.

Masih mengutip data biro statistik, pada tahun 2023 jumlah pekerja Jepang yang berusia 65 tahun ke atas meningkat selama 20 tahun berturut-turut hingga mencapai rekor 9,14 juta.

Berdasarkan tren terkini, merujuk Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial, proporsi orang lanjut usia di Jepang diperkirakan akan terus meningkat, mencapai 34,8% pada tahun 2040.

Sementara itu, catatan penelitian terbaru dari Feldman dari Morgan Stanley memperkirakan bahwa berdasarkan tren demografi masa lalu, total angkatan kerja dapat turun dari sekitar 69,3 juta pada tahun 2023 menjadi sekitar 49,1 juta pada tahun 2050.

Pemerintah Jepang telah menyadari kerugian ekonomi dan sosial yang dapat diakibatkan oleh tren ini dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Kantor Perdana Menteri Fumio Kishida misalnya meluncurkan kebijakan seperti menyediakan lebih banyak dana untuk membesarkan anak dan mendukung lebih banyak fasilitas penitipan anak di negara tersebut, guna meningkatkan angka kelahiran.

Pemerintah daerah bahkan telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung aplikasi kencan publik yang ditujukan untuk mengajak orang Jepang bergaul, menikah, dan memiliki anak. Namun, meningkatkan angka kelahiran tidak akan banyak membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja dalam jangka pendek.

Negeri Sakura itupun secara bertahap mulai membuka diri terhadap lebih banyak migrasi selama beberapa tahun terakhir. Ini mencapai rekor 2 juta pekerja asing pada tahun 2024 dan mengincar hingga 800.000 lebih banyak selama lima tahun ke depan.

“Mengganti kerugian demografi yang diharapkan di negara tersebut selama beberapa dekade mendatang akan mengharuskan negara tersebut untuk menambah pekerja kelahiran luar negeri dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dalam jumlah puluhan juta,” ujar Feldman.

“Saya tidak berpikir itu akan terjadi, yang berarti bahwa sebagian besar penurunan tenaga kerja domestik itu harus diimbangi oleh produktivitas yang lebih baik dari orang-orang muda yang akan tetap tinggal,” sambungnya.

“Menciptakan pertumbuhan produktivitas ini di antara para pekerja akan membutuhkan lebih banyak modal untuk diinvestasikan ke dalam produktivitas pekerja dan penerapan teknologi baru seperti AI dan otomatisasi,” pungkas dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*