Kelas Menengah RI Sekarat, Pemerintah Tak Bisa Cuma Salahkan Covid

40% Karyawan di Asia Pasifik Minta Naik Gaji, Tapi Ditolak

Kelas menengah Indonesia tidak bernasib baik pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jumlahnya terus turun mendekati zona kemiskinan.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS telah mengalami penurunan beruntun seusai merebaknya Pandemi COVID-19. Data yang tampak terjadi mulai 2021 hingga 2024. Sebelum itu terjadi peningkatan dari 2014-2019.

Pada 2014, jumlah kelas menengah masih sebanyak 43,34 juta orang lalu pada 2019 menjadi 57,33 juta orang. Sementara itu, pada 2021 jumlahnya merosot menjadi sebesar 53,83 juta orang, sedangkan pada 2024 sudah tersisa 47,85 juta orang.

Golongan kelas menengah yang merosot itu masuk ke golongan kelas menengah rentan dan golongan kelas rentan miskin. Sebab, sejak masa pandemi dua golongan kelas itu mengalami peningkatan jumlah.

Pada 2019 jumlah kelas menengah rentan atau aspiring middle class sebanyak 128,85 juta, lalu pada 2021 menjadi 130,82 juta dan pada 2024 menjadi 137,50 juta. Sementara itu, jumlah kelas rentan miskin naik dari 54,97 juta orang, menjadi 58,32 juta orang, dan pada 2024 menjadi 67,69 juta orang.

Kelas menengah ini bahkan tercatat tidak naik kelas menjadi kelas atas, sebab kelas atas hanya naik dari 2019 sebanyak 1,02 juta orang menjadi 1,07 juta orang pada 2021, dan pada 2024 masih sebanyak 1,07 juta orang. Sedangkan kelas miskin terus turun dari 25,14 juta, menjadi 27,54 juta, dan pada 2024 menjadi 25,22 juta.

“Jadi memang terlihat ada terjadinya pelemahan daya beli ini,” kata Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Jumat (11/10/2024).

Untuk kelas menengah ukurannya ialah pengeluarannya 3,5-17 kali garis kemiskinan atau pengeluarannya sekitar Rp 2,04 juta sampai 9,90 juta per kapita per bulan. Kelas menengah rentan 1,5-3,5 kali garis kemiskinan atau senilai Rp 874,39 ribu sampai Rp 2,04 juta. Rentan miskin ialah 1-1,5 kali garis kemiskinan atau Rp 582,93 ribu sampai dengan Rp 874,39 ribu.

Sedangkan untuk yang masuk kelompok miskin adalah pengeluarannya di bawah garis kemiskinan senilai Rp 582,93 ribu per kapita per bulan, sedangkan untuk kelas atas pengeluarannya 17 kali di atas garis kemiskinan atau di atas Rp 9,90 juta per kapita per bulan.

Sejumlah ekonom pun mencatat, setidaknya ada 5 hal yang menyebabkan kelas menengah kondisinya “sekarat” hingga menyebabkan mereka akhirnya terperosok masuk ke golongan kelas menengah rentan serta rentan miskin. Berikut ini rangkumannya:

1. Krisis Pandemi COVID-19 Buat Kelas Menengah Kritis

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, yang juga merupakan Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR terkait RAPBN 2025, Jakarta, Rabu (28/8/2024) mengungkapkan besarnya dampak Pandemi Covid-19 terhadap ekonomi kelas menengah.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saja pada periode itu mengalami penurunan drastis, dari sebelumnya pada 2019 masih tumbuh 5,02%, menjadi sebesar 2,97% pada 2020. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut juga diikuti dengan peningkatan jumlah pengangguran, yang menurut data Bank Dunia, meningkat dari 5,28% pada 2019 menjadi 7,07% pada 2020.

“Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari Pandemi Covid-19 terhadap ketahanan dari kelas menengah,” ucap Amalia.

2. Deindustrialisasi dan Meningkatnya Pekerja Informal

Deindustrialisasi juga menjadi salah satu faktor yang dianggap beberapa ekonomi menjadi penyebab turunnya kelas menengah, yang memeng merupakan tergolong juga sebagai kelas pekerja yang menggantungkan hidupnya dari gaji bulanan. Deindustrialisasi itu memicu kalangan kelas pekerja di Indonesia tidak mendapatkan pekerjaan yang layak atau formal, sehingga banyak dari mereka yang terpaksa menjadi pekerja informal atau gig worker.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin menyebut tanda-tanda penurunan kelas menengah di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dia menduga tanda-tanda penurunan itu bahkan sudah terjadi sekitar 1995 saat munculnya tanda-tanda deindustrialisasi dini.

Bustanul mengatakan penurunan kondisi kelas menengah itu bisa dilihat dari kinerja transformasi ekonomi di Indonesia yang tidak normal. Akibatnya, kontribusi manufaktur terhadap perekonomian secara keseluruhan terus menyusut.

Bustanul mengatakan kontribusi sektor manufaktur pada 1995 masih sebesar 41,8% dari PDB Indonesia. Namun, angka itu turun menjadi 38,5% pada 2005. Pada 2023, kontribusi manufaktur pada PDB Indonesia bahkan lebih kecil lagi yakni 28,9%.

“Jadi cikal bakal deindustrialisasi sudah terlihat dari share PDB, turun terus. Secara teori ini bukan proses pembangunan ekonomi yang baik,” kata dia.

Bustanul mengatakan berkurangnya kontribusi manufaktur pada perekonomian itu pada akhirnya juga menggeser struktur tenaga kerja di Indonesia. Jumlah pekerja yang bekerja di sektor manufaktur cenderung stagnan. Dia mengatakan tidak adanya perkembangan pada sektor pekerjaan ini pada akhirnya berkorelasi dengan memburuknya kondisi kelas menengah Indonesia.

“Jadi saya ingin sampaikan cikal-bakal penurunan kelas menengah itu sudah terlihat dari sana,” kata dia.

Deindustrialisasi itu terjadi tatkala distribusi industri pengolahan atau manufaktur terus merosot terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2014, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) angkanya masih 21,02%. Pada 2019 tersisa 19,7%, dan pada 2023 kian merosot menjadi 18,67%.

3. Lonjakan Harga Barang Kuras Isi Kantong

Penduduk kelas menengah di Indonesia juga rentan miskin selama 10 tahun terakhir. Tercermin dari modus pengeluaran penduduk kelas menengah yang cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawahnya.

Hal itu mengindikasikan kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk lompat menuju kelas atas, dan rentan untuk jatuh ke kelompok aspiring middle class atau kelompok kelas menengah rentan, bahkan rentan miskin.

BPS mencatat batas atas pengelompokan kelas menengah per 2024 ialah 17 x dari garis kemiskinan (Rp 582.932 per kapita per bulan) atau senilai Rp 9,90 juta. Sementara itu, batas kelompok menengah bawahnya adalah 3,5 x Rp 582.932 atau senilai Rp 2,04 juta.

Adapun modus pengeluarannya sebesar Rp 2,05 juta pada 2024, atau semakin dekat dengan batas bawah ukuran kelas menengah yang sebesar Rp 2,04 juta. Padahal, pada 2014, modus pengeluarannya sebesar Rp 1,70 juta dengan batas bawah senilai Rp 1,05 juta dan batas atas hanya sebesar Rp 5,14 juta.

Ekonom senior yang merupakan mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya terjadi karena pandemi Covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Melainkan juga akibat kebiasaan sehari-hari kebutuhan terhadap air kemasan, seperti galon yang harus bayar di Indonesia.

Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya,” kata Bambang di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas era pemerintahan Presiden Joko Widodo itu menekankan, kebiasaan mengkonsumsi air dalam kemasan tidak terjadi di semua negara.

Di negara maju misalnya, warga kelas menengah terbiasa menenggak air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Dengan adanya fasilitas air minum massal itu, masyarakat negara maju tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minum.

“Daya beli kelas menengahnya aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak,” kata dia.

Meski begitu, Bambang mengatakan faktor kebutuhan air minum hanyalah satu dari banyak faktor lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun ‘kasta’ ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Bambang menduga faktor utama tumbangnya kelas menengah RI adalah pandemi Covid-19.

4. Penurunan Belanja non Makanan

BPS mencatat enam kelompok pengeluaran kelas menengah membengkak pada 2019-2024 atau periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di antaranya untuk pengeluaran pajak hingga pendidikan.

Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS) porsi pengeluaran pajak atau iuran kelas menengah pada 2019 hanya sebesar 3,48%, namun pada 2024 menjadi 4,53%. Untuk pendidikan dari 3,64% menjadi 3,66%.

Sementara itu, untuk barang atau jasa lainnya dari 6,04% menjadi 6,48%, perumahan dari 27,80% menjadi 28,52%, keperluan pesta dari 2,81% menjadi 3,18%, dan makanan dari 41,05% menjadi 41,67%.

Adapun untuk kelompok pengeluaran kelas menengah non makanan lain yang mengalami penurunan yakni untuk hiburan dari 0,47% menjadi 0,38%, kendaraan dari 5,63% menjadi 3,99%, barang tahan lama dari 2,84% menjadi 2,29%, pakaian dari 3,15% jadi 2,44%, dan kesehatan dari 3,08% jadi hanya 2,86%.

Menurunnya porsi pembelian barang-barang non makanan itu juga tercermin dari tabungan kelas menengah yang terus merosot. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan pada awal tahun 2024, kondisi tabungan nasabah kelas menengah (middle) masih berada di level 99. Namun, tingkat tabungan itu terus turun hingga menyentuh level 94,8 pada Juli 2024.

Kondisi tabungan di tahun 2024 juga lebih parah dibandingkan pada 2023. Pada tahun lalu, tingkat tabungan kelompok kelas menengah masih di atas 100. Andry menyebut kondisi mantab yang dialami oleh kelas menengah ini berbeda dengan kondisi kelas bawah dan atas. Kondisi tabungan kelas bawah justru mengalami peningkatan sejak awal tahun 2024 dari 40-an, menjadi 47,9 poin di pertengahan tahun.

Andry menyebut kenaikan tabungan golongan terbawah ini terjadi karena banyaknya bantuan sosial di awal tahun 2024. “Jadi bansos memang ada pengaruhnya, mereka rebound.”

Andry melanjutkan kondisi kelas teratas lebih beruntung lagi.Jumlah tabungan mereka meningkat pesat sejak awal tahun 2024 dari level di bawah 100 menjadi 106,2 pada Juli 2024.

Dia mengatakan kelas middle-upper inilah yang masih memiliki daya beli kuat. Andry mengatakan kondisi tabungan kelompok inilah yang memunculkan fenomena konser-konser tetap ramai kendati masyarakat sedang tertekan daya belinya.

“Yang middle-upper ini saving-nya loncat! Jadi ini yang menjelaskan kenapa daya beli melemah, tapi setiap konser ticket war-nya gila-gilaan,” kata dia.

Kepala Ekonomi Bank Permata Josua Pardede mengatakan fenomena makan tabungan terjadi ketika peningkatan belanja lebih cepat ketimbang pendapatan seseorang. Solusi untuk mengatasi ini, kata dia, adalah mengerem tingkat belanja atau menaikkan tingkat pendapatan masyarakat.

Mengerem tingkat belanja dapat dilakukan dengan cara pemerintah menjaga inflasi harga, terutama pangan. Pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, kata dia, juga perlu dipastikan dapat dijangkau oleh masyarakat.

Secara bersamaan dengan menjaga harga, Josua meminta pemerintah untuk meningkatkan jumlah lapangan kerja di sektor formal.”Karena kalau terlalu banyak sektor informal yang paruh waktu, gajinya tidak akan lebih tinggi dibandingkan sektor formal,” kata dia.

5. Urbanisasi Turun, Balik Jadi Petani?

Minimnya lapangan pekerjaan formal membuat masyarakat banyak yang terpaksa memilih menjadi petani. Akibatnya urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari pedesaan ke kota cenderung tidak terjadi.

BPS pun mencatat kelas menengah yang bekerja di sektor pertanian membengkak selama 10 tahun terakhir. Berlainan arah dari yang bekerja di sektor jasa maupun industri.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kelas menengah yang bekerja di sektor pertanian pada 2014 hanya sebanyak 12,90%, lalu naik menjadi 15,14% pada 2019, dan menjadi 19,97% pada 2024.

“Yang kita lihat di sini ada kenaikan proporsi kelas menengah yang bekerja di sektor pertanian dibanding 10 tahun lalu,” kata Amalia saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR terkait RAPBN 2025 di Jakarta, Rabu (28/8/2024).

Sementara itu, untuk sektor industri, kelas menengah pada 2014 porsinya hanya sebesar 19,33%, lalu naik pesat pada 2019 menjadi 25,64% namun terus merosot porsinya pada 2024 menjadi hanya tersisa 22,98%.

Demikian juga untuk sektor jasa yang konsisten turun. Amalia mengatakan, pada 2014 kelas menengah yang bekerja di sektor jasa mencapai 67,78%, lalu pada 2019 menjadi 59,22% dan pada 2024 menjadi hanya sebesar 57,05%.

“Kalau kita melihat bagaimana lapangan usaha dan status pekerjaan kelas menengah memang 57% kelas menengah bekerja di sektor jasa, lalu 22,98% kelas menengah bekerja di sektor industri,” tegasnya.

Ia juga mengatakan, mayoritas pekerja kelas menengah itu juga bekerja di sektor informal dengan porsi mencapai 40,64% dari yang pada 2014 hanya sebesar 37,24%. Sedangkan yang bekerja di sektor formal terus mengalami penurunan 10 tahun terakhir dari 62,76% menjadi hanya 59,36%.

Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, minimnya pekerja yang masuk ke sektor formal atau manufaktur membuat boomerang tersendiri bagi pemerintah, terutama dari sisi penerimaan pajak yang berpotensi terus merosot, sebab pendapatan kelas pekerja petani tidak sestabil dan setinggi pekerja formal.

Akibatnya, data rasio pajak atau perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) juga menjadi stagnan, karena objek pajaknya makin banyak yang tak tersentuh akibat deindustrialisasi. Pada 2023, tax ratio Indonesia hanya 9,6%, sedangkan pada 2014 masih sebesar 11,4%.

“Kenapa tax ratio kita turun terus, kenapa jumlah tenaga kerja sektor formal turun terus, karena deindustrialisasi dini,” tegas Wijayanto.

https://alexandratolstoy.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*